Oleh : Asror
Bab I
Regereringsreglement 1854
Pada masa ini suasana di Hindia Belanda tidak begitu aman, lantaran banyaknya terjadi pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai manusiawi, dengan di terapkan sistem culterstelsel, tidak adanya kepastian aturan dan berjalannya roda pemerintahan yang terjadi banyak penyimpangan kewenangan di Hindia Belanda. Tentunya hal ini menarikdanunik perhatian dari negeri induknya yakni Belanda. Banyak kecaman hadir dari kelompok liberalisme yang tidak menyetujui dengan gaya pengelolaan negara jajahan yang tidak manusiawi itu.
Untuk itu diperlukannya kebijakan-kebijakan gres dibidang aturan dan pemerintahan di Hindia Belanda, semoga adanya kepastian aturan bagi setiap masyarakat serta berjalannya roda pemerintahan yang fair. Beratnya kiprah yang diemban oleh administrator-administrator sehingga tidak menghasilkan hasil yang terbaik dan membuka banyak peluang untuk terjadinya penyelewengan-penyelewengan wewenang, ditambah lagi kurangnya pengawasan. Hal ini ditandai dengan adanya tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan perdata maupun pidana yang harus dijalankan oleh direktur tersebut.
Selain itu, wangsit kaum liberalisasi ialah untuk mendapat pengakuan dan hak yang sama terhadap masyarakat pribumi, alasannya ialah selama ini masyarakat pribumi spesialuntuk menjadi objek penderitaan yang berkepantidakboleh tanpa adanya insentif tertentu bagi pribumi. Salah satu prektek eksploitasi yang sangat kejam tersebut ialah sistem tana paksa.
Tanam paksa atau cultuur stelsel ialah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil pguan diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak mempunyai tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu sanggup dikatakan tidak berarti lantaran seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laris ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak mempunyai lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa ialah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC lantaran ada samasukan pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, sekarang harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang diputuskan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang mempersembahkan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul peristiwa kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari banyak sekali kalangan di Belanda, kesudahannya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung hingga 1915. Akibat banyak sekali kelaparan yang menimpa hampir seluruh penduduk di Jawa, sudah menimbulkan banyak sekali Koreksian pedas dari orang-orang non-pemerintah. Gejala kelaparan ini diangkat kepermukaan dan dijadikan informasi bahwa pemerintah sudah melaksanakan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputera Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Di bidang sastra muncul Multatuli atau Dr. Douwes Dekker, dilapangan jurnalistik muncul E.S.W Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell, sehingga dari sinilah muncul gagasan politik etis.
Maka untuk mengatasi tiruana problem tersebut maka dikeluarkannya Regereringsreglement 1854, sebuah upaya untuk membuat Hindia Belanda sebagai negara aturan (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan kepada kekuasaan (machtstaat). Adapun inti dari kebijakan ini ialah memerintahkan semoga pengelolaan pemerintahan di Hindia Belanda dengan memakai azas trias politika dengan menyerahkan peradilan kepada hakim yang bebas serta menerapkan azas legalitas untuk mendapat kepastian aturan serta melarang pemidanaan yang mengakibatkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Dan kaum pribumi dilindungan tiruana hak-hak nya dengan peraturan-peraturan yang ada.
Bab II
Kebijakan eenheidsbeginsel
Cita-cita kaum liberal untuk mewujudkan kepastian aturan di Hindia Belanda yakni dengan melaksanakan unifikasi aturan yang populer dengan kebijakan eenheidsbeginsel. melaluiataubersamaini adanya wangsit ini, maka setiap masyarakat akan memperoleh hak yang sama dan roda pemerintahan sanggup berjalan dengan baik dan benar. melaluiataubersamaini adanya unifikasi aturan tersebut maka akan hilangnya diskriminasi terhadap pribumi, lantaran hak-hak bagi pribumi akan sama dengan hak-hak bagi kaum eropa, dengan membiarkan dualisme berjalan ditengah kehidupan Hindia Belanda berarti sama saja dengan membiarkan diskriminasi terus berjalan di Hindia Belanda.
Namun niat baik dari kaum liberal ini untuk melaksanakan unifikasi terbentur dilapangan, lantaran selama ini masyarakat pribumi hidup dengan menjalankan dualisme hukum, masyarakat sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut, apabila dilakukan juga unifikasi aturan dengan segera, maka akan menjadikan hancurnya lembaga-lembaga moral masyarakat pribumi yang sudah hidup ditengah-tengah masyarakat. Namun secara pragmatis dan realistik, dengan diterapkannya unifikasi aturan maka akan mengeluarkan biaya yang banyak dan waktu yang cukup lama, lantaran banyak yang harus disiapkan untuk menuju kesana.
Unifikasi mudah dalam impian dan rekaan ideal, tetapi sungguh terasa susah dalam pelaksanaan. Lebih dari dua era lamanya dualisme aturan sudah dipertahankan berlakunya, sehingga untuk melaksanakan unifikasi tidaklah mudah dan selalu terbentur tembok keras kenyataan dilapangan. Untuk meujudkannya memerlukan waktu dan harus hati-hati dan tidak mengejutkan direktur yang bertanggung tanggapan ditataran pemerintahan kolonial.
Maka diambillah jalan tengah yakni dengan menerapkan unifikasi maka dikeluarkan kebijakan berupa vrijwillige onderwerping dan toepasselijk verklaring. vrijwillige onderwerping adalah upaya kecil-kecilan oleh para pencari keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh aturan untuk membuat pilihan hukum, kebijakan toepasselijk verklaring ialah upaya besar-bemasukan lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undangan Eropa tertentu ke golongan pribumi. Maka, dengan dikeluarkannya dua kebijakan ini, aturan orisinil rakyat pribumi spesialuntuk kan digunakan oleh hakim sejauh aturan itu tidak berperihalan dengan aturan-aturan yang ada. Ini ialah bentuk kompromi dalam melaksanakan unifikasi disatu sisi dan tetap mempertahankan dualisme aturan disisi yang lain. Tetapi pada kesudahannya dua kebijakan ini ialah cikal bakal untuk menerapak unifikasi aturan untuk hukum-hukum tertentu menyerupai bidang tenaga kerja dan tanah.
Bab III
Ihwal Perundang-undangan kolonial dibentuk pada periode liberalisme (1850-1890)
Pada masa ini terjadi perkembangan aturan yang lebih bersifat pragmatis yang didengungkan oleh kelompok liberal. Mereka menggaungkan supaya diberlakukannya aturan Eropa dengan maksud lain, disatu sisi kaum liberal mendengungkan nilai-nilai kemanusian, persamaan hak dan persaudaraan antara sesame manusia, namun dibelakang maksud baik itu tiruana terdapat sebuah planning licik yang akan membawa rakyat di Hindia Belanda dibawah eksploitasi yang diluar batas kemanusiaan.
Kaum liberal ingin megampangkan melaksanakan usaspesialuntuk di Hindia Belanda dengan perundang-undangan yang ada. kaum liberal di Belanda berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menghapuskan Tanam Paksa dengan diberlakukannya UU Agraria atau Agrarische Wet. Namun tujuan utamanya ternyata bukan spesialuntuk menghapuskan Tanam Paksa, tapi lebih dari itu yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dimana mereka beropini bahwa pemerintah tidakboleh ikut campur dalam bidang ekonomi, mereka menghendaki semoga kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung masyarakat negara, menyediakan pramasukana, menegakkan eksekusi dan menjamin keamanan serta ketertiban.
Dampaknya bagi kaum pribumi ialah semakin meluasnya kemiskinan, sehingga menimbulkan gelombang protes dari kaum humanis tadi menyerupai Dr. Douwes Dekker yang menulis sebuah buku yaitu Max Havelaar pada tahun 1860, dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akhir tekanan pejabat Hindia Belanda. Selain itu, seorang anggota Raad van Indie, C.Th van Deventer membuat goresan pena berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, semoga memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berubah menjadi Politik Etis.
Rupanya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta melalui kebijakan-kebijakan liberal yang memperbolehkan pihak swasta untuk melaksanakan eksploitasi di Hindia Belanda menjadikan imbas yang sangat parah sekali dirasakan oleh masyarakat dari pada sistem eksploitasi pemerintah melewati tanam paksa.
Untuk megampangkan usaspesialuntuk maka dikeluarkanlah undang-undang terkena pertanahan. melaluiataubersamaini adanya undang-undang ini diatur bagaimana caranya semoga usaha-usaha swasta sanggup memperoleh tanah untuk menjalankan perusahaannya. Salah satu undang-undang terkena pertanahan, problem pokok yang hendak diatasi dengan Cultuurwet ( Undang-undang Tentang Usaha Pertanian) itu, ialah, bagaimanakah caranya semoga usaha-usaha swasta sanggup memperoleh tanah untuk menjalankan perushaannya. Bersamaan dengan upaya menata kebijakan aturan dalam soal pertanahan dan pendayagunaanya, yang ternyata mengudang perdebatan antara kepentingan untuk segera memajukan posisi orang-orang pribumi setara dengan posisi orang-orang Eropa ( khususnya dalam usaha-usaha pertanian) dengan kepentingan untuk melindungi orang-orang pribumi dari kemungkinan terampas milik-milik tanahnya oleh orang-orang Eropa (uang dikatakan lebih berakal berdasarkan ukuran ketika itu), pada dasawarsa 1860-an itu sudah terpikirkan pula kebijakan-kebijakan aturan dalam soal ketenagakerjaan. Upaya mengeluarkan perundang-undangan terkena tenaga kerja ialah untuk menjamin sanggup diperolehnya tenaga-tenaga kerja bagi usaha-usaha perkebuanan swasta, yang akan tampil menggantikan kulturstelsel ialah upaya yang relative susah dari pada upaya-upaya serupa untuk menjamin sanggup diperolehnya lahan-lahan pertanian. Berbeda dari suplai tanah yang sanggup diperoleh dari apa yang dikuasai secara de facto oleh penduduk dan masyarakat pribumi lewat pernyataan aturan yang disebut domeinverklaring. Suplai tenaga kerja tidaklah akan mungkin sanggup diperoleh kecuali dengan cara “merebut” dan “menyita” nya dengan suatu tindakan yang lebih faktual dari daerah ulayat masyarakat pribumi itu. Lagi pula, suplai tenaga insan pada waktu itu tidak sama dengan suplai tanah, suplai tenaga insan jauh lebih terbatas.
Bab IV
Kebijakan diseputar politik etik kolonial pada peralihan era 19
Seperti kita ketahui, semenjak pertama 1900 an, pemerintah Hindia Belanda, atas usul Van de Venter anggota Parlemen Belanda dari Partai Buruh, menekankan perlunya pemerintah Hindia Belanda menjalankan apa yang disebut sebagai Politik Etis, yaitu semoga dalam menjajah Indonesia hendaknya juga memperhatikan kesejahteraan dan kemajuan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Semacam konsep imperialisme berakhlak. Memang setelah itu mulai ada upaya pemerintah Belanda membuka lembaga-lembaga pendidikan. Kebijakan politik etis ini diterapkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pribumi yang sedang menurun. Padahal hasil yang diperoleh di daeah jajahan berlipat ganda sedangkan kemakmuran pada masyarakat pribuminya sangat memprihatikan, maka untuk itu diharapkan upaya timbal balik dengan menyisihkan sedikit laba untuk memakmurkan taraf kehidupan masyarakat pribumi.
Van Vollenhoven ialah spesialis hukum, ia berperdapat bahwa aturan moral tak perlu dihapus, lantaran itu ialah cerminan masyarakat pribumi. Dia tidak menentang unifikasi, tetapi ia beropini bahwa mustahil secara umum dikuasai yakni pribumi berhukum kepada aturan secara umum dikuasai yakni eropa. Kemudian de strijd om het adatrecht ini disambung oleh anakdidiknya yakni Ter Har yang sudah berhasil menghimpun dan menyusun konsep-konsep aturan adat.
Teknik pandang Ter Harr dan Van Vollenhoven didalam aturan moral sangatlah tidak sama, kalau Ter Har memandang aturan moral dari konsep common law dan menurutnya aturan moral itu ialah pecahan dari kebijakan pengusa, sedangkan Van Vollen hoven memandang aturan adapt ialah aturan-aturan yang harus dikodifikasikan dan aturan moral itu ialah miliknya masyarakat. Walaupu aturan adapt tidak terkodifikasi dan kurang mendapat tempat, aturan adapt sudah membawa kiprah yang cukup penting dalam menuntaskan masalah-masalah serta sengketa aturan ditengah-tengah masyarakat pribumi. Sehingga terjadinya dualisme aturan ditengah-tengah dunia aturan di Hindia Belanda.
Ball menyebut dualisme aturan ini dengan enlightenen dualism, jadi aturan moral tetap dianggap sebagai aturan yang setara dengan aturan eropa ditanah Hindia Belanda. Sehingga banyak yurisprudensi-yurisprudensi dari aturan adapt yang dijadikan dasar aturan dalam menetapkan suatu masalah. Namun dipihak lain banyak juga yang menentang terhadap aturan adapt tersebut, bagi pihak yang perdebatan terhadap aturan adapt ini memandang bahwa apabila aturan adapt tetap dipertahankan maka nantinya masyarakat pribumi akan tertutup dengan adanya keterbukaan dan kemajuan zaman serta mereka mempunyai pandangan sebetulnya aturan moral melindungi kelompok pribumi saja, sedangkan di Hindia Belanda masyarakatnya sudah demikian plural
Bab V
Perkembangan kebijakan zelfbestuur bagi masa depan “Tanah Hindia”
Banyak kewenangan yang dimiliki oleh gubernur jenderal menyerupai memegang kekuasaan lgislatif di negeri kolonial, berkewenangan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada, berkewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi dijajaran pemerintahan kolonial, berkedudukan sebagai penglima tertinggi angkatan darat dan angkatan maritim di Hindia Belanda dan berkewenangan untuk mempersembahkan grasi. Untuk mendayagunakan seluruh kekuasaan dan kewenangannya, gubernur jenderal dimenolong oleh suatu organisasi pemerintahan yang diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak sedikit pun mempunyai kekuasaan administrative yang mandiri, baik dipusat pemerintahan maupun didaerah-daerah. Karena besarnya kewenangan gubernur jenderal maka susah untuk melaksanakan pengawasan dan pengontrolan sehingga contoh pemerintah terksesan monopoli.
Buruknya kinerja pemerintahan kolonial sehingga mendapat Koreksian yang tajam dari kelompok-kelompok liberal yang berada di Hindia Belanda. Mereka menuntut reformasi sistem pemerintahan yang ada, dan kemudian mereka menginginkan semoga mereka dikutsertakan dalam mengambil setiap keputusan dan kebijakan didaerah Hindia Belanda yag disebut dengan Gewestelijk raad. Gewestelijk raad adalah suatu dewan dimana masyarakat Eropa sanggup berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Sudah datang waktunya pemerintah membuka mata untuk melihat perkembangan di tanah Hindia Belanda dan untuk kemudian melaksanakan reformasi ketatguagaraan yang sudah harus dipandang sebagai suatu langkah yang amat diharapkan semoga kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi spesialuntuk terpusat ditangan gubernur jenderal beserta raad van indie nya.
Untuk mewujudkan upaya reformasi ketatguagaraan di Hindia Belanda maka dikeluarkanlah Decentralisatie Wet 1903. adapun tujuan dikeluarkannya undang-undang ini ialah untuk mewujudkan desentralisasi administrative didaerah-daerah yang dimungkinkan. Yang pada pokoknya membagi wilayah Hindia Belanda kedalam satuan-satuan daerah dan sumbangan itu akan dilakukan oleh raja, bahwa pemerintahan didaerah-daerah itu dilaksanakan oleh pejabat-pejabat tinggi yang sebutannya akan di tentukan kemudian, bahwa gubernur jenderal akan menetapka intruksi-intruksi berkenaan dengan relasi para pejabat tinggi daerah itu dengan banyak sekali pihak lain serta kekuasaan sipil ialah kekuasaan yang tertinggi didaerah-daerah. Melalaui desentralisasi ini bunyi rakyat pribumi sudah ikut diperhitungkan, yakni dengan adanya perwakilan pribumi yang boleh duduk menjadi anggota raad. Walaupun dari segi kekuatan politik masih belum matang, ini sanggup menjadi sebagai sebuah corong bagi pribumi untuk menyuarakan hak-haknya di dalam raden tersebut. Walaupun sebagian besar anggota raad ialah dari puak eropa.
Bab VI
Perkembangan aturan di Indonesia yang menyangkut ihwal ketatguagaraan
Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan Madura, Sumatera serta Indonesia pecahan timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang tubuh pemerintahan dan tiruana aturan dan peraturan yang selama ini berlaku tetap ditetapkan berlaku sepanjang tidak berperihalan dengan peraturan-peraturan militer Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang serupa.
Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang tiruanla berlaku spesialuntuk untuk orang-orang Belanda, sekarang juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum moral tetap ditetapkan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer Jepang juga menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan perundangan pidana, dan memberlakukannya untuk tiruana golongan penduduk.
Namun bantuan penting yang didiberikan Jepang ialah dengan menghapuskan dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia spesialuntuk mempunyai satu sistem peradilan. sepertiyang juga pada institusi pengadilan, jepang juga mengunifikasi tubuh kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang diorganisasi berdasarkan 3 tingkatan pengadilan. Reorganisasi tubuh peradilan dan kejaksaan ditujukan untuk meniadakan kesan khusus bagi golongan Eropa di hadapan golongan Asia.
Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang sudah berlaku melainkan spesialuntuk beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk menjamin jalannya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang merekrut pejabat-pejabat dari kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal tersebut. Namun setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang ditetapkan tidak berlaku.
Sesudah Jepang pergi dari Indonesia, ini ialah peluang bagi Indonesia untuk sanggup memerdekakan dirinya, maka disusunlah segala sesuatu yang diharapkan untuk memenuhi syarat sebagai sebagai negara yang merdeka dan berdaulat termasuk didalam bidang hukum. Untuk mengisi kekososngan aturan maka aturan yang sudah berlaku sebelumnya yakni aturan peninggalan Belanda di berlakukan melalui Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Namun disatu sisi ada juga masukan dari kelompok-kelompok jago aturan untuk menerapkan hukum-hukum yang ada dalam konsep mereka, menyerupai aturan Islam dan aturan Adat. Namun untuk memberlakukan aturan tersebut memerlukan waktu yang lama, sedangkan kebutuhan akan aturan sangatlah mendesak, alasannya ialah Indonesia sedang terlibat perang fisik dengan Belanda yang akan merongrong kedaulatan negara Indonesia.
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menuntaskan problem ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan keputusan pada negosiasi KMB atau konfrensi meja bulat antara Moh. Hatta, Moh. Roem dengan Van Maarseven di Den Haag Belanda menetapkan bahwa bentuk negara Indonesia ialah negara RIS / Republik Indonesia Serikat. Negara republik indonesia serikat mempunyai total 16 negara pecahan dan 3 daerah kekuasaan diputuskan tanggal 27 desember 1949. Tujuan dibentuknya negara RIS tidak lain ialah untuk memecah belah rakyat Indonesia dan melemahkan pertahanan IndonesiaBelanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditanhadirani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 ialah ilegal. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. melaluiataubersamaini dikeluarkan dekrit tersebut Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan tiruana peraturan-peraturan aturan dan bentuk negara kembali kepada tiruanla yakni kesatuan Republik Indonesia.
Bab VII
Kebijakan pembangunan aturan pada era orde baru
Kebijakan pembangunan aturan dimasa Orde gres ditujukan untuk melaksanakan pembangunan di bidang Ekonomi. Hukum dijadikan masukana dan pramasukana untuk menumbuhkan pembangunan ekonomi di Indonesia. Hukum tidakboleh hingga menghambat pembangunan Ekonomi. Pada masa ini aturan memang dibuat untuk merekayasa kehidupan sosial masyarakat. Kekusaan pemerintahan yang sedemikian besar itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh keluarga istana. Selama lebih dari 32 tahun Orde Baru berkuasa, aturan sudah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Dominasi para "konglomerat hitam" yang mengitari istana ketika itu sudah melahirkan sejumlah produk aturan yang justru melegalisasi praktik-praktik KKN dan monopoli bisnis keluarga Soeharto.
Di bidang ekonomi, misalnya, betapa banyak keppres yang melegalisasi praktik-praktik monopolistik. Kasus-kasus menyerupai monopoli cengkih yang menyengsarakan petani, proyek jalan tol yang terealisasi tanpa tender yang fair, kendaraan beroda empat Timor yang perdebatanal, hingga pada masalah ruilslag tanah Bulog yang melibatkan Tomy, putra bungsu Soeharto, sudah menjadi fakta sejarah betapa aturan pada masa itu sudah menjadi instrumen untuk memperkaya kekuasaan. Karena itu, kalau pada masa Orde Lama politik ialah panglima, pada masa ini ekonomi menjadi panglimanya.
Hukum pada zaman ini memang dijadikan alat untuk merekaraya masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai pada zaman orde gres ini ialah pemabngunan ekonomi. Kaprikornus aturan harus dijadikan masukana untuk memajukan pembangunan ekonomi bukan malah sebaliknya, aturan tidakboleh dijadikan penghambat pembangunan ekonomi. Kaprikornus aturan pada zaman ini tadak memseriuskan pada bidang lainnya sehingga sering mengkaburkan nilai-nilai keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifanyang sebenarnya. Sehingga tibulnya gerakan-gerakan untuk menuntut hak asasi manusia
Ide law as a tool of social engineering ditujukan secara selektif untuk memfungsikan aturan guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja, dan tidak berpretensi akan sanggup merekayasa masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya. Ide ini tentu saja bersesuaian benar dengan kepentingan pemerintah orde baru, lantaran wangsit untuk menlampaukan pembangunan aturan yang gayut dengan ranah netral, yang juga aturan ekonomi, tanpa melupakan aturan tatguagara.
melaluiataubersamaini memfungsikan aturan untuk kepentingan pembangunan ekonomi (kehendak kepentingan industrialisasi masyarakat modern) oleh faham “ aturan sebagai masukana perekayasa social” begitu pula wangsit pendayagunaan aturan masuk sebagai kebijakan pemerintah dengan upaya melaksanakan survai untuk menginvestasikan dan meletakkan keadan aturan yang sudah atau belum ada untuk kepentingan kegiatan ekonomi, yang kemudian bermanfaa untuk memilih kebijakan perundang-undangan yang sudah direncanakan dalam rancangan pembangunan lima tahun kedua. Pembangunan aturan nasional dengan cara mengembangan aturan gres atas dasar prinsip yang diterima dalam kehidupan Internasional, dimana ada dua pihak jago aturan yang tidak setuju, yaitu harus ada kontinuitas perkembangan aturan (kolonial) menuju aturan nasional dimana Hukum nasional harus berakar yaitu aturan adat.
Jelasnya bahwa pendayagunaan aturan untuk kepentingan pembangunan Indonesia ialah dengan aturan yang sudah diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari aturan dan praktek bisnis Amirika), Para jago aturan praktek, mempelajari hokum eropa (belanda) dimana mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur aturan dan bisnis Internasional, melaksanakan pengembangan hokum nasional Indonesia dengan dasar aturan kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila ialah yang dipandang paling logis.
Hukum Kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih ialah aturan positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola aturan eropa(belanda). Telihat adanya adopsi dari aturan adat, aturan Amirika atau aturan Inggris, akan tetapi konfigurasinya/pola sistemiknya yang eropa tidak sanggup dibongkar, aturan tata niaga atau aturan dagang (Handels recht Vav koophandel membedakan aturan sebagai perekayasa social atau aturan ekonomi. Dalam Weyboek Van Koohandel terdapat pula mengatur leasing, kondominium dan Universitas Padjadjaran melihat problem aturan perburuhan, agraria, perpajakan dan pertambangan masuk kedalam aturan ekonomi. Terutama pada aturan dagang (belanda) yang dikualifikasikan sebagai aturan privat (perdata), sedangkan aturan ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah, oleh karenanya aturan dagang untuk mengatur prosedur ekonomi pasar bebas dan aturan ekonomi untuk mengatur prosedur ekonomi berencana.
Keberadaan aturan moral tidak pernah akanmundur atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun aturan nasional, hal terlihat dari terwujudnya kedalam aturan nasional yaitu dengan mengangkat aturan rakyat/hukum moral menjadi aturan nasional terlihat pada naskah sumpah cowok pada tahun 1928 bahwa aturan moral layak diangkat menjadi aturan nasional yang modern (soepomo). Di masa Orde Baru pencarian model aturan nasional ialah untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan aturan nasional., dimana mengukuhkan aturan moral akan berarti mengukuhan pluralisme aturan dan tidak berpihak kepada aturan nasional yang diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi). Dan wangsit kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana aturan moral ialah aturan yang mempunyai perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis, dengan mengingat bahwa aturan kolonial dianggap sangat berperihalan dengan aturan moral ialah ialah kiprah dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melaksanakan unifikasi dan kodifikasi kedalam aturan nasional tersebut.
Daftar Pustaka
Adi sulistiono, 1987. Sejarah forum peradilan di Indonesia (online) http://www.malang.ac.id, diakses 20 April 2010.
Disriani Lathifah,2009. Sejarah terbentuknya perdilan negeri di Indonesia, (online) http://www. Lathifah blog, sejarah terbentuknya peradilan negeri di Indonesia.com. Diakses 23 April 2010.
0 Komentar untuk "Sejarah Peradilan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda"