A. Penlampauan
Al-Razi ialah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam kepingan Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua di antara al-Kindi (pertama/ 809-873), al-Farabi (ketiga/ 881-961), Ibnu Maskawayh (keempat/ 932-1030), Ibnu Sina (kelima/ 980-1037) dan al-Ghazali (keenam/ 1058-1111).
Meskipun ia di Barat lebih dikenal sebagai hebat kedokteran dengan sebutan Razes[2] alasannya ialah prestasi unggulannya di bidang kedokteran, akan tetapi karya filsafatnya sanggup dikata solid. Bebarapa faktor yang turut memproduknya adalah:
(1) keberadaannya di kepingan timur yang menjadi pe nyerap pertama filsafat Yunani melalui injeksi penaklukan Alexander The Great
(2) masa hidupnya berada pada pertama dan hangatnya semangat pertumbuhan peradaban (keilmuan) Islam atau pada gelombang Hellenisme pertama (750-950)
(3) ia belajar penting Hunayn bin Ishaq (809-873), seorang Nasrani Nestorian dari Hira, penerjemah pertama yang paling populer dan guru ilmu kedokteran dan dokter istana
(4) potensi intelektualnya.
Topik goresan pena ini bermaksud spesialuntuk menyusuri dan menyisir khazanah histori filsafat dalam Islam, untuk menemukan donasi al-Razi dalam bidang tersebut.
Sementara sejumlah problem yang diajukan adalah:
(1) siapa sesungguhnya al-Razi itu?,
(2) apa dan bagaimana buah pikirannya di bidang filsafat?,
(3) bagaimana posisi material filsafatnya di antara para filosof di dunia Islam?.
Untuk mengungkapnya –searah “jarum” perkuliahan ini–penulis memakai pendekatan sejarah kritis. Pendekatan ini –atas dasar filsafatnya–menerapkan kecerdikan budi epistemologis dan konseptual. Pembahasannya diseriuskan pada dua hal, yaitu:
(1) logisitas eksplanasi historisitas dan
(2) status epistemologis narasinya
Perhatian utamanya ialah fenomena objek studi yang dipahami dalam konteks latar historisnya.
Melalui pendekatan itu, jawabanan atas problem pertama dan terutama kedua, diposisikan pada inovasi kedirian diri dan karya (konsep-konsep filsafat) al-Razi. Sedangkan jawaban-an atas problem ketiga ditempatkan pada konteks sejarah perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam. Dalam konteks inilah sanggup diketahui konsep mana yang ialah milik orisinal al-Razi, dan konsep mana yang ialah kelanjutan –dalam bentuk Koreksi maupun pengembangan–dari tokoh-tokoh yang mendoloeinya.
B. Sepenggal biografi Al-Razi
Pertama, al-Razi berjulukan lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. Dia lahir di Rayy, Propinsi Khurasan, bersahabat Teheran, pada tahun 856 M./ 251 H. dan wafat tahun 925 M./ 313 H. Menjelang wafatnya, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati. Sebab, pertimbangan masaknya berkeputusan: bahwa “begitu banyak dunia yang pernah dilihatnya, ingin melihatnya lagi”.
Kedua, pendidikan yang diperolehnya dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi insan produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis, sebagaimana poin-poin klarifikasi diberikut.
Ketiga, kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, bahagia memberi dan ulet. Oleh alasannya ialah itu sanggup dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terserius pada bidang medis yang berkaitan eksklusif dengan jasa pelayanan sosial, daripada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-intelektual/ budaya.
Keempat, kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai administrator rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemudian di Baghdad. Bahkan ia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, ia dijelaskan oleh beberapa hebat sudah pintar memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran.
Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang aneka macam pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astronomi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali matematika, alasannya ialah beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-perihal penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih populer dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid, mengulas aneka macam cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima era (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M. Bahkan, al-Razi ialah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles.
Kelima, khusus di bidang filsafat, spesialuntuk sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar 100 buku yang sudah ditemukan. Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1. Sekumpulan karya nalar berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam;
2. Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya;
3. Materi Mutlak dan Partikular;
4. Plenum dan Vacum, ruang dan waktu;
5. Fisika;
6. Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana;
7. Tentang keawetan dan ketidakawetan tubuh;
8. Sanggahan terhadap Proclus;
9. Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum);
10. Sebuah komentar tentang Timaeus;
11. Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus;
12. Sebuah risalah yang memperlihatkan bahwa benda-benda bergerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya ialah milik mereka;
13. Obat pencahar rohani (Spiritual Physic);
14. Jalan filosofis;
15. Tentang Jiwa;
16. Tentang perkataan imam yang tak sanggup salah;
17. Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah;
18. Metafisika berdasarkan aliran Plato; dan
19. Metafisika berdasarkan aliran Socrates.
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam prinsip “lima kekal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pandangan naturalis kuno.
Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.
Keenam, meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monumental dan mempunyai keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh alasannya ialah itu sanggup dipahami, apabila dalam seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat Islam sendiri–, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh beberapa acuan yang sudah penulis periksa, sebagaimana kajian-kajian Anhari, Collinson dan Wilkinson, al-‘Iraqi, Hashim, Hanafi, dan Aceh. Kecuali kajian-kajian diberikut yang memproporsikan al-Razi sesuai dengan kadar pendekatannya.
Kajian Fakhry yang menempatkan al-Razi pada periode pertama penulisan filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkouryang memposisikan al-Razi pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan beberapa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali yang secara khusus mengulas al-Razi –meskipun sangat ringkas- sebagai anggota mazhab filsafat Dunia Islam kepingan Timur.
C. pokok-pokok Filsafat al-Razi
Perhatian utama filsafat al-Razi ialah jiwa, kemudian lima yang abadi. Sesudah itu, moral, kenabian dan agama, yang ialah sisi pengembangan daya Koreksi intelektualnya.
Jiwa ialah titik kesamaan perhatian utama antara al-Razi dan Plato. Untuk ini ada ilustrasi indah untuk menggambarkan substansi pokok filsafat Plato (Platonik) sebagaimana dipresentasikan oleh Gaarder: “… suatu kerinduan untuk kembali ke alam jiwa…”.
1. Lima yang Kekal
Prinsip lima yang awet (five co-eternal principles/ al-mawet’ al-Qadimah al-Khamsah) berdasarkan al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) bahan pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut.
Ali mempersembahkan klarifikasi secara pasrial demikian:
1) Sang Pencipta ialah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
2) Jiwa universal ialah jiwa yang hidup dari jasad ke jasad hingga suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
3) Materi pertama ialah bahan yang dari padanya Tuhan membuat dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Tanah ialah atom yang paling padat, kemudian air, hawa dan api.
4) Ruang sewenang-wenang ialah adalah ruang yang awet, tanpa pertama dan tanpa akhir.
5) Masa sewenang-wenang ialah masa yang awet, tanpa pertama dan tanpa akhir.
Berikut ini penulis berusaha menyajikan rajutan-sistematis kelima prinsip di atas.
Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan perjuangan yang berani untuk bergulat dengan perkara yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof semenjak zaman Plato, sebagaimana dipaparkan pada kepingan simpulan sub goresan pena ini.
Jiwa sama-sama awet dengan Tuhan. Oleh alasannya ialah jiwa butuh bahan (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa menciptakan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.
Kemudian, bahan memerlukan sebuah locus daerah ia tinggal, yang tidak lain ialah ruang (prinsip keempat). Ruang sebagai konsep yang abstrak, tidak terbatas dan sekaligus abadi. Demikian ini dalam arti ruang universal/ mutlak. Sedangkan ruang partikular/ tertentu tidak sanggup dipahami secara terpisah dari materi, yang ialah esensinya yang sejati.
Sementara itu, waktu ialah semacam gerak. Waktu universal tidak sanggup diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang ialah ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbeda dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keawetan yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular sanggup diukur dan terbatas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang sudah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada balasannya sadar akan kedudukannya yang sejati dan terdorong untuk mencari daerah pemukimannya kembali di dunia akali, yang ialah daerah tinggal yang hakiki.
Prinsip lima awet itu ialah sebuah sistem metafisika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebingungan para filosof.
Persoalan yang dihadapi oleh mereka bukan sekadar “apakah dunia ini diciptakan atau tidak?”, akan tetapi lebih rumit dikala melewati batas-batas risalah polemik teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Nasrani –apakah Tuhan membuat dunia, melalui “keniscayaan alam” (necessity of nature) atau melalui tindakan bebas?. Persoalan ini pernah ditetapkan oleh kaum Skolastik Latin.
Apabila “kemestian alam” yang dituntut, maka konsekuensi logisnya adalah, bahwa Tuhan, yang membuat dunia dalam waktu, berada dalam waktu itu sendiri. Sebab suatu produk alamiah harus terjadi secara pasti atas pelaku alamiahnya dalam waktu. Di sisi lain, apabila tindakan “kehendak bebas” yang dijadikan jawabanan, maka ada pertanyaan lain yang segera muncul: “mengapa Tuhan lebih bahagia menciptakan dunia dalam waktu partikular daripada dalam cara yang lainnya?”.
2. Jiwa
Pada poin ini, ada sesuatu yang mengejutkan pendirian Aristotelianisme dan aliran Islam, yakni pernyataan keyakin-an al-Razi kepada Pythagorean-Platonik tentang metempsikosis (transformasi jiwa).
Menurutnya, jiwa, meskipun asalnya hidup, tidak sabar dan dalam keadaan bodoh. Oleh alasannya ialah terpesona oleh materi, maka ia berusaha untuk dipersatukan dengannya dan untuk dianugerahi bentuk yang memungkinkannya sanggup menikmati kesenangan-kesenangan jasmani. Tetapi, alasannya ialah ada perlawanan bahan terhadap aktivitas jiwa yang sedang dalam pembentukan, maka Tuhan “bermurah hati” untuk memmenolongnya dan membuat dunia ini, dengan bentuk materialnya, supaya jiwa sanggup melampiaskan nafsu syahwatnya untuk menikmati kepingan kesenangan-kesenangan material untuk sementara waktu.
Demikian juga, Tuhan membuat insan dan memdiberinya kecerdikan dari “esensi ketuhanan-Nya”, sehigga kecerdikan pada balasannya sanggup menggugah jiwa dari keterbuaian jasmaninya dalam badan manusia, dan mangingatkannya pada nasib (hakikat)nya yang sejati sebagai masyarakat dunia yang lebih tinggi (akali) dan akan tugasnya untuk mencari dunia tersebut melalui pengkajian filsafat. Ketika jiwa hingga ke taraf ketagihan terhadap pengkajian filsafat, ia berhak memperoleh keselamatannya dan bergabung kembali dengan dunia akali dan dengan demikian ia terbebas –sebagaimana dikatakan oleh kaum Pythagorean kuno-dari “jantera kelahiran”. Ketika tujuan simpulan ini tercapai dan jiwa insan yang dibimbing oleh kecerdikan sudah kembali ke daerah asalnya yang sejati, “dunia yang lebih rendah” ini akan berhenti, dan materi, yang sudah demikian lekat terjalin dengan bentuk, akan kembali kepada keadaannya tiruanla yang betul-betul murni dan sama sekali tiada berbentuk.
Pada konsepsi jiwa tersebut, al-Razi tidak saja mengajukan sebuah teori yang berani dan orisinal tentang jiwa, akan tetapi juga mempersembahkan klarifikasi terkena penciptaan dunia dalam waktu oleh Sang Pencipta. Konsepsi Pythagorean-Orphik tentang kembalinya jiwa secara melingkar dan pelepas-annya yang terakhir dari “jantera kelahiran” dikemukakan dengan tegas dan fungsi terapi gaib filsafat cukup ditonjolkannya.
3. Moral
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep transmigrasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan perkara penyembelihan hewan.
Al-Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, terutama yang diakibatkan oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan binatang buas sanggup dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak sanggup diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menimbulkan mereka lebih bersahabat dengan takdir akhirnya. dengan mempersembahkan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam badan lain yang lebih baik, menyerupai badan manusia.
Kenabian dan Agama
Bagi al-Razi, kecerdikan menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal didiberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul alasannya ialah efek pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk sanggup kembali kepada Tuhannya.
Al-Razi tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya spesialuntuk membawa kehancuran bagi manusia. Kebenaran wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’an dengan uslubnya tidak ialah mu’jizat bagi Muhammad. Ia spesialuntuk sebagai buku biasa. Nikmat kecerdikan lebih kongkret daripada wahyu. Oleh alasannya ialah itu, aktivitas membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti daripada membaca buku-buku agama.
Selanjutnya, dalam relasi kenabian dan agama, al-Razi menegaskan bahwa para Nabi tidak berhak mengklaim bahwa mereka mempunyai keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, alasannya ialah tiruana insan sama. Padahal keadilan dan kemahahakiman Tuhan memastikan untuk menolak mempersembahkan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain.
Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai kepingan dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradiktif, alasannya ialah satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permguan. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah penlampaunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya ialah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan menusia menjadi resah tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama ialah sumber peperangan yang menimpa insan semenjak doloe, di samping ialah musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Alur pikiran di atas sanggup dipahami, bahwa, dalam pandangan al-Razi, agama itu spesialuntuk warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat alasannya ialah tradisi saja. Oleh alasannya ialah pandangannya yang demikian, maka al-Razi sanggup disebut seorang ateis, alasannya ialah mengKoreksi tiruana agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya ialah akalnya sendiri.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi–dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan Koreksinya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang memperlihatkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes mendasar yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati tiruana protes yang sebelumnya sudah dikobarkan oleg al-Rowandi. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi-amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi. Dalam hemat penulis, di antara kemungkinan ketertutupan ini ialah alasannya ialah al-Rowandi terserius pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga alasannya ialah reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya sudah menembus jaenteng prestisius di Eropa selama lima abad.
Kesimpulan dan analisa tentang pokok-pokok filsafat al-Razi
Ø Al-Razi ialah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsafat, alasannya ialah karyanya al-Hawi.
Ø Perhatian utama filsafatnya ialah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang bencana dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi mengatakan teori berani dan orisinal tentang jiwa.
Ø Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi aliran pokok, ialah prinsip lima yang abadi, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membedakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) awet. Keduanya bertemu dalam keawetan jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik.
Ø Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. melaluiataubersamaini konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke daerah yang lebih baik, dengan cara membunuhnya.
Ø Kemudian, konsepnya terkena kenabian dan agama, diberintikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini ialah bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
Ø Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihatkan bahwa ia ialah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima abadi” al-Razi yang sudah mempersembahkan solusi dalam problem penciptaan dunia ialah jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof semenjak Plato, akan tetapi juga para filosof Islam sesudahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi sudah membuka jalan bagi mereka untuk membuatkan problem proses penciptaan dunia.
WaAllahu ‘alam wa inna lilahi wa inna ilaihi raji’un
0 Komentar untuk "Filsafat Al-Razi"